Udah November. Udah mau mencapai
akhir 2019. Naif jika mengatakan tahun ini lewat begitu cepat―karena nyatanya
gue sendiri ngerasa ini tahun yang cukup lama, tapi gue pun ngerasa kok mendadak
udah mau kelar aja.
Tahun ini merupakan tahun yang
cukup banyak memberikan pengaruh pada kedewasaan diri. Dibuka dengan sisa mental breakdown di akhir 2018, gue yang
akhirnya kembali mengambil tanggung jawab yang sama untuk kedua kalinya, dan
kebingungan-kebingungan lain karena masalah akademik. Tahun 2019 sejak awal
sudah gue cap sebagai tahun yang ngga mudah.
Dan bener. Banyak hal yang
membuat gue mikir: apakah dosa gue emang sebanyak itu sampai-sampai ujian gue
segininya. Mari kita mulakan dengan masalah magang. Sebagaimana diketahui, di
kampus gue, mahasiswanya diwajibkan untuk melaksanakan magang akademik. Maganya
bebas di mana aja, mahasiswanya diperbolehkan untuk nyari sendiri.
Sayangnya, karena prosedurnya
yang lumayan ribet, sampai Juli pun masih ada beberapa yang belum dapet tempat
magang, padahal harusnya udah mulai masa magang tuh. Salah satunya gue. Gue
sebenarnya udah dua kali mendapatkan surat penerimaan magang dari perusahaan
yang gue inginkan, cuman keduanya akhirnya membatalkan penerimaan tersebut
karena satu dan lain hal. Pada waktu itu sih rasanya beneran ngga adil, tapi
kemudian semuanya berujung ke satu kata: yaudah.
Long story short, akhirnya gue tetep dapet tempat magang sih,
walaupun telat, kerjaannya ngga sesuai ekspektasi, dan sering banget gue iri
sama temen-temen yang magangnya beneran kerja dan capek. Banyak banget yang
ngeluh mereka overworked karena harus
handle kerjaan atasannya, sedangkan
gue sibuk duduk di ruangan sambil ngetik esai yang gue kirimkan ke beberapa
media saking longgarnya kegiatan gue di kantor.
Hal lain yang juga “menyenangkan”
adalah permasalahan Kuliah Kerja Nyata alias KKN. KKN adalah kegiatan dimana
mahasiswa diharuskan tinggal di tengah masyarakat, menganalisis permasalahan
yang ada di dalamnya, dan berkontribusi untuk membantu memecahkan permasalahan
yang ada. Permasalahan yang dipecahkan tentu saja permasalahan-permasalahan
sederhana, berhubung KKN cuman dilaksanakan selama 45 hari dan cuman ada 30
hari efektif untuk membantu menyelesaikan permasalahan itu. Sisanya dipake buat
survey sama evaluasi.
KKN ini lumayan draining sejak awal, sih. Jadi kampus
menyediakan dua tipe KKN yang bisa dipilih mahasiswanya, yakni KKN Kemitraan
dan KKN Reguler. KKN Kemitraan memungkinkan mahasiswa untuk milih sendiri
lokasi KKNnya dimana, milih tema atau program yang mau dilaksanakan, milih
sendiri temen sekelompoknya, dan nyari mitra buat pelaksanaan KKNnya. Meanwhile KKN Reguler tuh mahasiswanya
ditentukan sama kampus, tema dan programnya ditentukan oleh kampus, lokasinya
ditentukan oleh kampus, dan ngga memerlukan mitra. Gue pribadi milih KKN
Mandiri, lebih karena biasanya KKN Reguler cuman punya 2 cowok di dalamnya.
Sedangkan di KKN gue sekarang, ada 10 cowok di dalamnya. Selain itu, gue sejak
dulu ngga suka tidak diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang gue mau. Hehe.
Tapi ya Mandiri juga ngga gampang.
Kami harus pitching untuk menentukan
apakah kelompok kami lolos atau engga. Kalau ngga lolos ya otomatis harus
ikutan yang Reguler. Belum lagi stigma kalau anak-anak Mandiri tuh orang ngga
mau susah karena milih-milih, dan anak Mandiri dianggap “kurang KKN” karena
semuanya nentuin sendiri dan ngga challenging.
Apparently masih ada beberapa orang
yang ngga bisa menghargai pilihan orang lain.
Sejak pembentukan awal emang
melelahkan. Ada yang udah diterima lalu mengundurkan diri terus sampai sekarang
ngga bayar fee yang udah ditentukan
(di awal emang udah disepakati bakalan ada fee
kalau mengundurkan setelah dinyatakan diterima, karena ya tim gue harus nyari
orang lagi sedangkan waktunya udah mepet dan ngga gampang). Tuh bocahnya masih
sering lewat di fakultas gue, kebetulan karena sahabatnya dia ya temen-temen
gue. Ada malah yang bocahnya kemudian nge-block gue :) wkwk makasih lho. Utang
dibawa kemana-mana, just so you know.
Terus banyak informasi yang
simpang siur. Sampai bahkan hingga pitching
yang menentukan apakah KKN Mandiri lolos atau engga, masih banyak informasi
yang simpang siur. Kita pun pitching
dalam keadaan setengah sadar, karena proposal baru kelar malam sebelumnya. Thank God banget sih karena kami masih
diizinkan untuk lolos dan ada di urutan atas, that could be implies kalau nilai kelompok KKN gue tinggi dan layak
untuk lolos.
Tapi 2019 ngga melulu soal tantrum, kok. Ada banyak banget hal
menyenangkan yang terjadi. Gue belajar untuk love myself more, gue belajar untuk menyadari ada banyak banget
faktor eksternal yang ngga bisa gue kendalikan, gue belajar untuk lebih sabar
dan menerima kekurangan yang gue miliki. Iri, dengki, dan sebagainya tuh masih
ada―dan menurut gue akan selalu ada karena sifat tersebut manusiawi, tapi gue
berusaha supaya sifat-sifat tersebut don’t
get the best of me.
Lebih dari itu, 2019 adalah tahun
yang gue usahakan untuk lebih mencintai orang-orang yang beneran valuable buat gue. Gue punya banyak
kenalan di kampus, kalau boleh dibilang. Beberapa temen bahkan menjuluki gue
sebagai ‘artis FISIP’ karena menurut mereka, gue se-terkenal itu. But lately gue sadar kalau kenal bukan
selalu bermakna teman. Ada banyak banget orang yang used to be my close friend, tapi karena emang kondisi yang ada,
akhirnya mereka ngga se-deket itu lagi dengan gue. And it’s normal, life must go on dan prioritas orang tuh beda-beda.
Orang-orang yang valuable ini lah yang justru perlu gue
jaga. Mereka yang beneran ada di saat gue lagi ngga mood ngapa-ngapain, mereka yang senantiasa checking on me ketika gue ngetik galau dikit di sosial media, mereka
yang bisa gue datangi kalau lagi bingung, mereka yang senantiasa mengapresiasi
hal-hal yang menurut gue pun ngga se-penting itu hingga bisa mendapatkan
apresiasi. Mereka yang membuat gue merasa berharga, perlu gue treat dengan baik sehingga mereka sadar
mereka juga berharga.
Udah mau akhir 2019. Akhir
dekade. Gue inget ketika 2009 mau berakhir, ada ketakutan janggal yang merasuk
ke dalam diri gue. Perasaan gugup, ngga siap, padahal itu cuman pergantian
tahun biasa. Heck, gue bahkan masih
SD waktu itu.
Belakangan, gue baru sadar kalau tiap
pergantian dekade menandakan akhir masa bagi gue. Gue sadar kalau 2009 adalah
akhir masa kanak-kanak bagi gue, beralih menuju masa remaja. Pun 2019 merupakan
akhir dari masa remaja gue, karena 2020 harusnya gue lulus, bekerja, dan
beproses menjadi orang dewasa.
Apakah gue siap? Ah, gue udah
berhenti percaya masalah kesiapan. Waktu bakalan terus berjalan, anyway, mau kita siap atau engga. All we have to do adalah do our best dan berproses dengan
sebaik-baiknya. Gue ngga siap melepas jabatan di BEM, misalnya. Been three years of ups and downs, sekre
kecil di pojokan itu udah menjelma jadi rumah yang nyaman. Tapi justru momen
nyaman tersebut merupakan alarm agar kita pindah, dan adalah takdir anak untuk
selalu meninggalkan rumah.
Di akhir tahun ini, mari sama-sama
selesaikan apa yang udah kita mulai. Selesaikan urusan dengan teman yang
mungkin masih mengganjal, selesaikan urusan dengan mereka yang berhutang dengan
kita. Mari tingkatkan hubungan yang baik dengan orang lain, karena kita ngga
punya “selamanya” untuk bertahan dengan mereka yang benar-benar berharga.
Terima kasih, 2019. Semoga gue
bisa menutup tahun dengan pandangan yang lebih jelas dibandingkan ketika gue
menutup 2018.
Komentar
Posting Komentar