Langsung ke konten utama

Beberapa Hal yang Membuat Gue Emosional


 
 
Beberapa hari belakangan, kayaknya gue lagi kebanyakan tertawa deh sekembalinya ke Solo. Karena kebanyakan tertawa ini, berdasarkan mitos yang ada, akhirnya gue juga makin banyak menangis. Alhamdulillahnya ada beberapa yang merupakan tangisan bahagia.

Tangisan pertama ialah ketika gue (finally) dapet PPA. Alhamdulillah, beasiswa ini emang yang paling mungkin gue raih karena keterbatasan dalam hal prestasi dan pencapaian sosial. Makanya beneran seseneng ini karena pemerintah masih percaya untuk memberikan uang ke gue yang nihil talenta ini. Uangnya sedianya mau dipakai kursus bahasa Inggris, cuman kayaknya bakalan difokuskan untuk membeli tiket ke Jakarta guna presentasi tugas magang yang belum juga kelar dan (mungkin) juga ditabung untuk keperluan KKN.

Tangisan kedua, jelas, adalah tentang meninggalnya eyang Habibie. Kabar yang mengejutkan, indeed, karena beberapa saat sebelumnya, dikabarkan beliau semakin membaik setelah dua minggu dirawat. Seneng dong, alhamdulillah beliau bisa sehat. Eh, beberapa menit kemudian, dapat kabar kalau beliau meninggal.

Asli se-nangis itu. Beliau adalah embodiment kakek gue yang udah meninggal; ramah dan murah senyum. Bahasa tubuh beliau yang mudah menempel pada siapa saja juga merupakan gambaran betapa terbukanya beliau. Senyum senantiasa terukir di bibir beliau, yang mungkin hanya pernah hilang ketika Ibu Ainun meninggal. Optimisme beliau terhadap negeri ini juga luar biasa, ngga putus sekalipun ide beliau sempat terhenti dan sampai sekarang masih berusaha untuk dibangkitkan kembali. Dekatnya beliau dengan rakyat dan betapa beliau ngga mau ada banyak paspampres di dekat beliau merupakan gambaran bahwa beliau ingin dekat dengan semua golongan.

Tanpa beliau, ngga tahu deh Indonesia bakalan bernasib seperti apa. Beliau ada dimana Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi paling parah sepanjang sejarah, mengalami tuntutan separasi dari Timor Timur, dan konflik sosial yang semakin memanas. Tanpa beliau yang tenang dan terlatih dalam menyelesaikan konflik, mungkin Indonesia ngga semaju sekarang. Kebebasan pers, anugerah kebebasan membentuk partai politik, tuntutan amandemen UUD agar sesuai dengan perkembangan zaman, dan banyak kebijakan progresif lainnya yang beliau ambil, membuat Indonesia bisa seperti sekarang. Padahal, 70 hari sebelumnya, mungkin Habibie ngga menyangka kalau dia bakalan menjadi pemimpin negeri ini.

Wajar ketika pada akhirnya gue nangis, karena sosok kakek yang sempat ada pada Pak Habibie, harus bersua dengan kakek di surga.

Nangis berikutnya dipersembahkan karena adanya amandemen UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana mengubah batas minimal usia perkawinan perempuan yang awalnya minimal 16 tahun menjadi 19 tahun. Asli, nangis. Sejak mengenal UU tersebut, gue udah menilai kalau UU tersebut bermasalah. Adanya tumpang tindih mengenai penjelasan makna dewasa menurut beberapa konstitusi malah memperumit UU tersebut. Gue sendiri berpendapat bahwa emang batas usia 16 tahun itu terlalu dini. Emang sih mayoritas perempuan mungkin udah mens pada usia tersebut, tapi menikah bukan hanya persoalan dia mens apa belum. Ada persoalan kematangan rahim di sana, yang mana berpengaruh pada kesiapan perempuan untuk memiliki anak. Kalau rahimnya belum siap, bisa jadi jiwa si ibu yang terancam.

Hal lain yang luput diperhatikan ialah kesiapan mental sang ibu. Coba hitung berapa kasus Ibu yang mengalami baby blues pasca mereka melahirkan. Kasus ini terjadi karena Ibu yang belum siap secara mental maupun sang suami yang tidak menyadari betapa krusialnya perannya dalam fase ini. Mental sebagai perempuan yang bertanggung jawab mengurus anak, suami, dan rumah pun mungkin belum terbentuk.

Belum lagi permasalahan mengenai keterampilan Ibu untuk mengurus rumah tangga dan fungsi finansialnya. 16 tahun adalah usia yang sangat terlalu muda, dan bahkan dia belum mendapatkan KTP. Heran aja gimana ceritanya mereka bisa mendapatkan surat keterangan nikah kalau bukti sebagai warga negara yang dewasa aja belum mereka miliki.

Let’s not talk about gimana timpangnya masyarakat Indonesia dalam menyiapkan perkawinan: banyak kelas pra nikah yang seakan mengagungkan peran perempuan padahal sebenarnya merupakan konspirasi untuk mengerdilkan peran dan hak istri, dan minimnya kelas yang beneran ngajarin laki-laki buat ngga jadi suami yang seenaknya. We have seen this this kind of clownery ketika beberapa waktu lalu, salah satu pemerintah di Jawa Barat berusaha ngebuat program “Kelas Istri”, dan hebatnya masyarakat kita, banyak yang nyatanya masih belum belajar dari peristiwa itu.

19 tahun memungkinkan perempuan untuk belajar dan mempersiapkan diri lebih banyak sebelum menjadi seorang Ibu. Tugas kita sekarang ialah memastikan implementasi di lapangan yang sesuai, karena terkadang UU yang dianggap tidak strategis hanya mengendap sebagai konsep.

Hal yang menyebabkan nangis berikutnya ialah revisi UU KPK. Masyaa Allah, gue ngga tahu harus berkata apa lagi sama revisi UU ini. Di tengah RKUHP yang bermasalah dan perlu ditinjau dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang jelas-jelas lebih dibutuhkan untuk menjamin perlindungan dari tindakan kekerasan seksual dan menjamin hak-hak korban, yang terhormat justru berfokus pada UU KPK yang melemahkan independensi KPK dalam menangani kasus korupsi. Di tengah utang negara yang semakin membengkak, justru kita memperlemah upaya penyelidikan kemana larinya uang-uang negara ini. Ibarat mau nambal ban bocor, nyari lokasi bocornya cuman pake feeling, bukannya pake air yang bakalan lebih mempermudah.

Entahlah. Baru beberapa minggu doang nih di Solo, cuman kayaknya negara ini emang ngga bisa kalau ngga gaduh. Jujur gue (berusaha untuk) bisa ikhlas dengan pulangnya eyang Habibie, karena akhirnya beliau ngga merasakan sakit lagi. Dan akhirnya gue jadi tahu kalau Indonesia se-berkabung itu, karena sampai saat tulisan ini dibuat, yang mana udah 5 hari dari meninggalnya eyang, masih banyak yang mengibarkan bendera setengah tiang, padahal anjurannya cuman 3 hari aja. Tapi, gue jelas ngga rela sama gimana pilih kasihnya pemerintah terhadap RUU PKS. Sebuta itu po sampai ngga ngeliat tingginya kasus kekerasan, perceraian, korban kejahatan seksual yang malah disalahkan AND EVEN WORSE malah dijadikan tersangka?

In the end of the day, sampai saat ini, gue bisanya cuman nangis doang sama nulis untuk meluapkan kesedihan. Semoga di waktu dekat, gue bisa beneran take action untuk memperbaiki kondisi yang ada, selain tanda tangan petisi dan turun aksi. Semoga Indonesia baik-baik saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Mengikuti Seleksi XL Future Leaders Batch 7

A Lo Ha! Sekarang aku mau sharing pengalaman ikutan seleksi XL Future Leaders batch 7, nih. Programnya XL ini cukup bergengsi sih dan tiap tahun makin banyak pendaftarnya. Soalnya XL beneran ngga main-main dalam menyelenggarakan program ini. Investasinya, kalau dinominalkan, katanya bisa mencapai jumlah 100 juta rupiah per orang. Hm, mantap juga. Aku tahu informasinya dari werbsite. Sebenarnya kemarin XL juga sempet ngadain Town Hall gitu di kampusku, tapi aku ngga bisa ikutan. Aku saranin kalian buat dateng Town Hall ini sih kalo acaranya ada di kampus kalian. Di sana, kalian bisa nanya-nanya langsung ke awardee dan minta banyak tips ke mereka. Berguna lah pokoknya. Tahap 1: Seleksi Administrasi Setiap program pasti ada seleksi administrasinya. Seleksi administrasi ini gampang gampang susah, sih. Di bagian awal, kamu diminta mengisi biodata dan beberapa tambahan informasi. Terus kalau ga salah, di bagian akhir, ada tiga soal esai yang harus kamu jawab. Aku ngga ngert...

Diterima di SMA Negeri 8 Yogyakarta

Hai! :D Jadi ceritanya, hari ini adalah hari terakhir pendaftaran sekolah menengah atas atau bahasa gaulnya SMA. Dari tadi pagi, gue udah siap-siap. Udah bolak balik rumahnya Deny buat mencetak formulir dan rumahnya Mesi untuk ambil formulir. Dari rumah Mesi gue dapet kabar kalau ternyata dia udah nggak mau mengikuti seleksi online untuk masuk ke SMA negeri di kota Yogyakarta. Dia memilih tetap di Bantul, di SMA 1 Bantul. Sebelumnya di Deny juga mau ikutan seleksi online, tapi nggak jadi, karena peluang masuknya kecil, katanya. Yasudah. Kembali ke rumah, masih bisa santai sampai jam sembilan. Jam sembilan, semua sudah siap, tapi mendadak Mbak suruh bikin formulir dengan pilihan sekolah yang kembali diacak. Dan kemudian bikin deh dua buah formulir, kemudian Mbak suruh bikin satu lagi dengan pilihan sekolah diacak kembali. Lalu kita berangkat, mencari tukang percetakan terdekat, kemudian Mbak kembali bilang kalau peluang masuk SMA Negeri 1 sudah tertutup. Peluang SMA Negeri 8...

Tentang Kelulusan dan Kegalauan yang Menyertainya

Assalamualaikum :D Oke to the point aja. Udah lupa gimana caranya bikin basa basi. Maklum, udah hiatus selama tujuh bulan, dan hasilnya begini nih! Seperti yang kalian ketahui, gue baru saja lulus dari kelas sembilan. Mari sejenak flashback kegiatan gue dulu. Seperti yang kalian ketahui, kelas sembilan itu masa yang paling galau di SMP. Kita akan menentukan kemana langkah kita berikutnya. Kita akan menentukan masuk jurusan manakah kita di SMA nanti.Apakah IPA? Atau IPS? Nah, jurusan itu pula yang akan menentukan mau menjadi apa kita setelah lulus nanti. Karen menurut berita yang ada, kuliah lintas jurusan akan mulai dilarang. Lintas jurusan itu semisal lo SMA ambil IPA, tapi begitu di universitas lo ambil jurusan yang berkaitan sama IPS. Kita akan... Yah, pokoknya yang bikin galau itu ada di kelas sembilan. Di kelas sembilan ini, gue nggak mau bersantai lagi. Gue nggak mau kejadian nilai buruk di kelas enam terulang lagi. Waktu itu, nilai UASBN gue hanya 24,90. Alhamdulillah di...