Photo by Christian Erfurt on Unsplash
Tangisan pertama ialah ketika gue
(finally) dapet PPA. Alhamdulillah, beasiswa ini emang yang paling mungkin gue
raih karena keterbatasan dalam hal prestasi dan pencapaian sosial. Makanya
beneran seseneng ini karena pemerintah masih percaya untuk memberikan uang ke
gue yang nihil talenta ini. Uangnya sedianya mau dipakai kursus bahasa Inggris,
cuman kayaknya bakalan difokuskan untuk membeli tiket ke Jakarta guna
presentasi tugas magang yang belum juga kelar dan (mungkin) juga ditabung untuk
keperluan KKN.
Tangisan kedua, jelas, adalah
tentang meninggalnya eyang Habibie. Kabar yang mengejutkan, indeed, karena beberapa saat sebelumnya,
dikabarkan beliau semakin membaik setelah dua minggu dirawat. Seneng dong,
alhamdulillah beliau bisa sehat. Eh, beberapa menit kemudian, dapat kabar kalau
beliau meninggal.
Asli se-nangis itu. Beliau adalah
embodiment kakek gue yang udah
meninggal; ramah dan murah senyum. Bahasa tubuh beliau yang mudah menempel pada
siapa saja juga merupakan gambaran betapa terbukanya beliau. Senyum senantiasa terukir
di bibir beliau, yang mungkin hanya pernah hilang ketika Ibu Ainun meninggal.
Optimisme beliau terhadap negeri ini juga luar biasa, ngga putus sekalipun ide
beliau sempat terhenti dan sampai sekarang masih berusaha untuk dibangkitkan
kembali. Dekatnya beliau dengan rakyat dan betapa beliau ngga mau ada banyak
paspampres di dekat beliau merupakan gambaran bahwa beliau ingin dekat dengan
semua golongan.
Tanpa beliau, ngga tahu deh
Indonesia bakalan bernasib seperti apa. Beliau ada dimana Indonesia tengah
mengalami krisis ekonomi paling parah sepanjang sejarah, mengalami tuntutan
separasi dari Timor Timur, dan konflik sosial yang semakin memanas. Tanpa
beliau yang tenang dan terlatih dalam menyelesaikan konflik, mungkin Indonesia
ngga semaju sekarang. Kebebasan pers, anugerah kebebasan membentuk partai
politik, tuntutan amandemen UUD agar sesuai dengan perkembangan zaman, dan
banyak kebijakan progresif lainnya yang beliau ambil, membuat Indonesia bisa
seperti sekarang. Padahal, 70 hari sebelumnya, mungkin Habibie ngga menyangka
kalau dia bakalan menjadi pemimpin negeri ini.
Wajar ketika pada akhirnya gue nangis,
karena sosok kakek yang sempat ada pada Pak Habibie, harus bersua dengan kakek
di surga.
Nangis berikutnya dipersembahkan
karena adanya amandemen UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana
mengubah batas minimal usia perkawinan perempuan yang awalnya minimal 16 tahun
menjadi 19 tahun. Asli, nangis. Sejak mengenal UU tersebut, gue udah menilai
kalau UU tersebut bermasalah. Adanya tumpang tindih mengenai penjelasan makna
dewasa menurut beberapa konstitusi malah memperumit UU tersebut. Gue sendiri
berpendapat bahwa emang batas usia 16 tahun itu terlalu dini. Emang sih
mayoritas perempuan mungkin udah mens pada usia tersebut, tapi menikah bukan
hanya persoalan dia mens apa belum. Ada persoalan kematangan rahim di sana,
yang mana berpengaruh pada kesiapan perempuan untuk memiliki anak. Kalau rahimnya
belum siap, bisa jadi jiwa si ibu yang terancam.
Hal lain yang luput diperhatikan
ialah kesiapan mental sang ibu. Coba hitung berapa kasus Ibu yang mengalami baby blues pasca mereka melahirkan.
Kasus ini terjadi karena Ibu yang belum siap secara mental maupun sang suami
yang tidak menyadari betapa krusialnya perannya dalam fase ini. Mental sebagai
perempuan yang bertanggung jawab mengurus anak, suami, dan rumah pun mungkin
belum terbentuk.
Belum lagi permasalahan mengenai
keterampilan Ibu untuk mengurus rumah tangga dan fungsi finansialnya. 16 tahun
adalah usia yang sangat terlalu muda, dan bahkan dia belum mendapatkan KTP. Heran
aja gimana ceritanya mereka bisa mendapatkan surat keterangan nikah kalau bukti
sebagai warga negara yang dewasa aja belum mereka miliki.
Let’s not talk about gimana timpangnya masyarakat Indonesia dalam
menyiapkan perkawinan: banyak kelas pra nikah yang seakan mengagungkan peran
perempuan padahal sebenarnya merupakan konspirasi untuk mengerdilkan peran dan
hak istri, dan minimnya kelas yang beneran ngajarin laki-laki buat ngga jadi
suami yang seenaknya. We have seen this this
kind of clownery ketika beberapa waktu lalu, salah satu pemerintah di Jawa
Barat berusaha ngebuat program “Kelas Istri”, dan hebatnya masyarakat kita,
banyak yang nyatanya masih belum belajar dari peristiwa itu.
19 tahun memungkinkan perempuan
untuk belajar dan mempersiapkan diri lebih banyak sebelum menjadi seorang Ibu.
Tugas kita sekarang ialah memastikan implementasi di lapangan yang sesuai,
karena terkadang UU yang dianggap tidak strategis hanya mengendap sebagai
konsep.
Hal yang menyebabkan nangis
berikutnya ialah revisi UU KPK. Masyaa Allah, gue ngga tahu harus berkata apa
lagi sama revisi UU ini. Di tengah RKUHP yang bermasalah dan perlu ditinjau dan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang jelas-jelas lebih dibutuhkan untuk
menjamin perlindungan dari tindakan kekerasan seksual dan menjamin hak-hak
korban, yang terhormat justru berfokus pada UU KPK yang melemahkan independensi
KPK dalam menangani kasus korupsi. Di tengah utang negara yang semakin
membengkak, justru kita memperlemah upaya penyelidikan kemana larinya uang-uang
negara ini. Ibarat mau nambal ban bocor, nyari lokasi bocornya cuman pake feeling, bukannya pake air yang bakalan
lebih mempermudah.
Entahlah. Baru beberapa minggu
doang nih di Solo, cuman kayaknya negara ini emang ngga bisa kalau ngga gaduh.
Jujur gue (berusaha untuk) bisa ikhlas dengan pulangnya eyang Habibie, karena
akhirnya beliau ngga merasakan sakit lagi. Dan akhirnya gue jadi tahu kalau
Indonesia se-berkabung itu, karena sampai saat tulisan ini dibuat, yang mana
udah 5 hari dari meninggalnya eyang, masih banyak yang mengibarkan bendera
setengah tiang, padahal anjurannya cuman 3 hari aja. Tapi, gue jelas ngga rela
sama gimana pilih kasihnya pemerintah terhadap RUU PKS. Sebuta itu po sampai
ngga ngeliat tingginya kasus kekerasan, perceraian, korban kejahatan seksual
yang malah disalahkan AND EVEN WORSE malah dijadikan
tersangka?
In the end of the day, sampai
saat ini, gue bisanya cuman nangis doang sama nulis untuk meluapkan kesedihan.
Semoga di waktu dekat, gue bisa beneran take
action untuk memperbaiki kondisi yang ada, selain tanda tangan petisi dan
turun aksi. Semoga Indonesia baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar