Rokok merupakan barang yang cukup
dekat dengan saya sejak masih balita. Dari keluarga Bapak, hanya beliau yang
memutuskan untuk ngga merokok. Seluruh saudara laki-lakinya pernah menjadi
perokok, bahkan ada yang bertahan sampai sekarang.
Saya mulai skeptis dengan rokok
ketika akhirnya benda kecil ini mempengaruhi kesehatan keluarga. Kakak tertua
Bapak mengalami stroke yang mengakibatkan sebagian tubuh beliau susah
digerakkan. Kakak kedua dari Bapak juga mengalami stroke yang kemudian membuat
beliau memutuskan berhenti merokok. Ada lagi sih pakdhe saya yang masih
merokok, tapi sepertinya kadarnya udah turun dibandingkan pas beliau masih
belum sakit stroke. Intinya, setiap yang merokok di keluarga saya pasti
ujungnya stroke.
Masuk ke SMA, saya tertarik
bergabung dengan organisasi yang berfokus mengampanyekan hidup sehat ke
anak-anak di sekolah. Salah satu musuh kami, tentu saja, adalah rokok. Kami
sempat membuat gerakan penukaran rokok dengan coklat beberapa kali, juga
mengadakan seminar mengenai bahaya mengonsumsi rokok, dan update di blog
organisasi (yang sekarang udah mati) mengenai informasi terbaru dampak rokok.
Pokoknya saya ngga mau temen-temen saya ngerasain apa yang pakdhe-pakdhe saya
rasakan.
Saya dulu sekeras itu menolak
rokok. Kalau ada sekte anti rokok, bisa dipastikan saya gabung jadi pengurus
inti. Ada asap dikit, pasti saya langsung angkat kaki. Ada yang cuman mainin
bungkusan rokok, pasti langsung saya ceramahin masalah bahaya rokok dan
bagaimana kesehatan itu merupakan investasi jangka panjang. Udah cocok banget
lah jadi duta anti rokok.
Cuman, semakin saya tua, semakin
sadar kalau rokok ini punya jaringan yang ribet dan sulit untuk diurai.
Lemahnya regulasi masalah rokok lah yang kemudian ngebuat barang kecil ini jadi
masalah yang besar bagi negara.
Seorang teman yang pernah saya
tegur karena merokok justru menyalahkan saya. Dia bilang kalau rokok yang murah
jelas menarik buat dikonsumsi. Ini masa remaja, men, ujarnya. Waktu dimana
semua orang sibuk mencoba hal baru, termasuk rokok. Apalagi di Indonesia, rokok
ini selalu diidentikkan dengan maskulinitas dan citra ‘keren’. Hanya dengan
merokok, derajat sosial seseorang bisa naik di lingkungan pertemanannya.
Seorang teman yang lain
menyalahkan rendahnya harga rokok sebagai alasan kenapa banyak orang di Indonesia
yang merokok. Rokok dijual dengan murah dan mudah didapatkan, mulai dari di pedagang
asongan hingga di pusat perbelanjaan. Bandingkan dengan Singapura, negara yang cuman
seperlemparan batu dari Indonesia, yang menerapkan aturan tegas mengenai rokok.
Harganya dibikin tinggi, batasan usia beneran ditegakkan, dan ngga boleh
ngerokok di sembarang tempat kecuali dia mau berurusan dengan polisi moral.
Teman yang lain menjustifikasi
rokok sebagai sarana ‘pelarian’ stress yang lebih bisa dimaafkan dibandingkan
minuman keras. Semakin mendekati usia pertengahan 20an, stress yang dirasakan
tiap orang biasanya meningkat dalam rangka menyambut mid-life crisis. Hanya dengan sesimpel scrolling Instagram, seseorang bisa jadi stres sendiri karena
ngeliat teman-temannya yang udah pada sukses sedangkan dia sendiri masih
gini-gini aja. Belum lagi kerjaan di kampus yang numpuk, teman kelompokan yang
kayak sampah, tuntutan kantor yang bikin pusing, yang ngebuat seseorang harus
menemukan sarana untuk menjaga kewarasannya.
Saya sendiri masih anti merokok,
cuman semua argumen di atas membuat saya ngga se-keras dulu menolak rokok. Mungkin
juga karena saya ngga begitu concern dengan perkembangan isu rokok.
Makanya kemarin pas ada yang
mempermasalahkan salah satu perusahaan rokok yang dianggap mengeksploitasi anak
dan memaparkan produknya ke anak kecil hanya karena perusahaan tersebut
ngebantu seleksi atlet, saya agak panas juga.
Gini lho. Temen saya bilang
kurang lebih 50% pasokan atlet baru cabang olahraga tersebut tuh berasal dari
seleksi yang dimaksud. Menurut temen saya yang udah fans bulutangkis garis
keras ini, di lapangan pun, anak-anak ini ngga terpapar secara langsung dengan
produk rokok, karena ya institusi yang menyelenggarakan program seleksi ini
beda sama institusi bisnis yang jualan rokok itu. Dan fasilitas yang diberikan
juga lebih dari layak dan ngga ada eksploitasi sebagaimana yang dituduhkan.
Sabda temen saya ini bisa dianggap valid, karena nampaknya dia apal lebih
banyak nama pemain bulu tangkis dibandingkan jumlah teori Komunikasi yang akan
kami butuhkan untuk skripsi.
Entahlah. Di tengah masih
banyaknya anak kecil yang dipaksa kawin karena dalih tradisi, child trafficking, kasus anak putus
sekolah, banyaknya anak korban kekerasan yang ngga mendapatkan bantuan
advokasi, adanya wacana perubahan nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga yang berpotensi
mendomestikkan kembali peran perempuan dan melemahkan upaya perlindungan anak, dan
sunat perempuan yang ((Masyaa Allah)) ngga ada faedahnya itu, ada yang lebih memilih
menyoroti proses seleksi yang mereka anggap sebagai eksploitasi. Entah karena
saya yang ngga tahu atau karena medianya yang ngga mengabarkan dengan
berimbang.
Terlepas dari rokok yang menjadi
alasan kedua tertinggi kemiskinan di Indonesia, kalau mereka emang berbuat
baik, ya kenapa harus disorot, sih? Alih-alih pointing out proses seleksi atlet yang dinilai eksploitasi, mending
berfokus mendorong pemerintah menguatkan regulasi mengenai perlindungan anak, mendukung
implementasi regulasi rokok yang lebih tegas, mendorong terwujudnya kota ramah
anak yang masih belum keliatan bentuk nyatanya, ngasih edukasi sejak dini ke
anak-anak tentang bahaya rokok, atau ikutan ngedemo sistem zonasi dan sistem
belajar full-day, yang (((bisa jadi))) juga ngga kalah penting.
Saya lebih ngerasa tereksploitasi
di situ sih, soalnya jadi ngga punya waktu buat bersosialisasi dan otak saya
jadi capek karena kelamaan mikir.
Komentar
Posting Komentar